Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyerahkan laporan pemeriksaannya kepada Presiden Joko Widodo, DPR RI, dan DPD RI. Pada semester I tahun 2017, BPK menerbitkan 687 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang terdiri dari 113 LHP Pemerintah Pusat, 537 LHP Pemerintah Daerah, serta LHP BUMN dan Badan Lainnya sebanyak 37 LHP. Dari seluruh LHP tersebut, BPK menyampaikan total temuan sebanyak 9.729 temuan serta total rekomendasi sebanyak 25.937.
Kemudian bila dilihat dari raihan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), secara nasional terjadi peningkatan dari 60 persen pada tahun sebelumnya, menjadi 73 persen pada tahun ini. Di Pemerintah Pusat, raihan opini WTP meningkat dari 65 persen di tahun 2014 menjadi 71 persen pada 2015, lalu naik kembali menjadi 84 persen di tahun 2017. Sedangkan untuk entitas Pemerintah Daerah, perkembangan raihan opini WTP juga mengalami peningkatan, dari 47 persen di tahun 2014 menjadi 5 persen pada tahun 2015, kemudian naik lagi menjadi 70 persen di tahun ini. Perkembangan tersebut tentu menggembirakan. Terlebih raihan opini WTP atas LKPP 2016 juga pertama kali diperoleh pemerintah pusat setelah 12 tahun lamanya.
Berdasarkan Rencana Strategis BPK RI Tahun 2016-2020, target raihan opini WTP untuk pemerintah pusat tahun 2019 sebesar 95 persen dan opini WTP untuk LKPD sebesar 85 persen.
Lalu apa dan bagaimana setelah entitas berhasil meraih opini WTP? Pertanyaan ini menjadi sangat penting menjadi refleksi kita bersama, mengingat opini WTP bukanlah akhir dari segalanya.
Opini tertinggi atas laporan keuangan tersebut, menjadi salah satu instrumen untuk mengukur, apakah entitas telah benar-benar menyajikan laporan keuangan telah sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Mengacu pada deskripsi di atas, ada beberapa hal yang perlu dilakukan setelah entitas berhasil meraih opini WTP.
Pertama, entitas diharapkan segera menyelesaikan rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh BPK. Tindak lanjut atas rekomendasi ini merupakan upaya melakukan perbaikan tata kelola keuangan, sehingga di tahun berikutnya diharapkan tidak akan terjadi temuan berulang.
Kedua, entitas diharapkan dapat merumuskan perencanaan pembangunan dengan matang, fokus dan didasarkan pada prioritas. Perencanaan juga perlu disinergikan dan diintegrasikan dengan penganggaran, sehingga lebih memudahkan untuk mencapai target yang ditetapkan.
Ketiga, khusus pemerintah daerah, di tengah sempitnya ruang fiskal daerah yang terjadi hampir di seluruh Kota dan Kabupaten di Indonesia, diharapkan entitas mampu mengendalikan belanja daerah yang lebih tepat guna, tepat waktu dan tepat sasaran, sehingga anggaran mampu menjadi pendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Keempat, entitas diharapkan dapat meningkatkan peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)—dalam hal ini inspektorat, sebagai garda terdepan pengawasan keuangan di pemerintahan daerah. Wacana penguatan APIP yang mengemuka akhir-akhir ini perlu segera direspon dan ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat, sehingga keberadaan APIP menjadi organisasi yang kuat dalam upaya meningkatkan akuntabilitas.