Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Namun, yang sedang kita saksikan adalah disharmoni hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah Provinsi DKI Jakarta, terkait reklamasi Pantai Utara Jakarta. Kenyataan ini tentu saja menodai desentralisasi sebagai kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sengkarut kewenangan antara pemerintah pusat dan dan daerah inilah salah satu problem desentralisasi yang juga terjadi dibanyak daerah di Indonesia. Pertanyaanya, bagaimana jika terjadi deadlock, bagaimana jalan keluar terbaik dengan tetap menjaga marwah pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta tetap menjalankan nilai nilai good governance?
Tersisihnya peran publik dalam proses kebijakan pulau reklamasi merupakan ciri penting dari kebijakan ini yang akhirnya menjadi polemik berkepanjangan. Dari sudut pandang good governance, tidak dilibatkannya masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan adalah sebuah pelanggaran dalam proses demokratisasi di Indonesia.
Smith (1985) dalam studi ilmu politik, desntralisasi merujuk pada distribusi kekuasaan berdasarkan kewilayahan (teritorial) Desentralisasi berkenaan dengan sejauh mana kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) diserahkan melalui suatu hierarkhi secara geografis dalam negara dan juga berkenaan dengan institusi dan proses yang memugkingkan berlangsungnya pembagian tersebut.
Desentralisasi mensyaratkan pembagian wilayah negara ke dalam daerah daerah yang lebih kecil serta pembentukan institusi institusi administratif dan politis di daerah tersebut. Persoalan pulau reklamasi masuk dalam ranah urusan pemerintahan konkuren yakni urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Urusan yang menyangkut pekerjaan umum, lingkungan hidup, pertanahan, penanaman modal, penataan ruang, pe ruma ha n rakyat dan kawasan permukiman termasuk Urusan Konkuren yang menjadi kewenangan daerah yang merupakan urusan Pemerintahan Wajib.
Dapat disimpulkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 pulau Reklamasi Pantai Utara Jakarta adalah kewenangan penuh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Kawasan Khusus
Dalam perspektif desentralisasi masih ada solusi yang bisa diambil jika pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akhirnya dead lock dalam mensikapi proyek reklamasi pantai utara Jakarta. Meski demikian, pemerintah, pihak pengembang, dan masyarakat harus terlibat aktif di dalamnya karena reklamasi adalah proyek strategis yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena itu perlu melacak storylines yang dibangun dalam proses kebijakan Reklamasi Pantai Utara Jakarta untuk mempertegas karakternya kemudian menarik kesimpulan untuk mengambil kebijakan. Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Presiden Soeharto memproyeksikan perlunya pengembangan kawasan di wilayah pantai utara Jakarta dengan melakukan reklamasi laut menjadi daratan.
Dalam Perda DKI No 6 tahun 1999 tentang RTRW DKI Jakarta dalam paragraf 4 tentang Rencana Pengembangan Kawasan Pemukiman pasal 32 ayat b disebutkan bahwa wilayah reklamasi akan digunakan untuk kawasan permukiman masyarakat menengah atas. Pada 19 Juli 2007 Gubernur Sutiyoso menerbitkan Surat Gubernur Nomor 1571/-1.711 berisi pemberian izin prinsip kepada PT Kapuk Naga Indah untuk melakukan Reklamasi Pulau 2A yang kemudian menjadi pulau D.
Kemudian Presiden SBY menerbitkan Perppres No.54 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur. Keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur Sutiyoso dan Presiden SBY bertujuan memperkuat Kepres Nomor 52 Tahun 1995 tentang kelangkaan lahan bagi warga ibu kota.
Gubernur Fauzi Bowo mengesahkan tiga dokumen yang mendukung reklamasi pertama, Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang RT RW 2010–2030. Kemudian Gubernur Basuki Tjahaja Purnama mengeluarkan perpanjangan izin prinsip yang sudah kadaluwarsa untuk Pulau F.G,I dan K pada 2014. Ahok juga menerbitkan izin pelaksanaan Pulau G pada 23 Desember 2014.
Selain kebutuhan akan daratan untuk pemukiman warga ibu kota Jakarta, storyline lainnya adalah ada kajian bahwa Jakarta akan tenggelam tahun 2030 karena kenaikan air laut akibat perubahan iklim global. Kemudian muncul Jakarta Coastal Defense Strategy (JCDS) atau strategi pertahanan Perairan di Jakarta.
Pada perkembangannya JCDS menjadi bagian dari Program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau Pembangunan Pesisir Pantai Terpadu Ibu Kota Negara. Proyek Reklamasi yang tadinya terpisah akhirnya menjadi satu dengan NCICD dengan nama baru “Great Garuda”.
Dari storyline ini bisa disimpulkan bahwa NCICD mempunyai karakter khusus yang bisa menjadi Kawasan Ekonomi Khusus. Dijelaskan dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 Bab I Pasal (42), Kawasan Khusus adalah bagian wilayah dalam Daerah provinsi dan/ atau Daerah kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) bahwa untuk mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah dalam kesatuan ekonomi nasional, perlu dikembangkan Kawasan Ekonomi Khusus.
Pasal 2, KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi serta berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Pasal 8, Dalam hal tertentu, Pemerintah dapat menetapkan suatu wilayah sebagai KEK tanpa melalui proses pengusulan.
Dengan demikian Pemerintah Pusat bisa mengambil kebijakan tanpa harus melibatkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tapi tentunya harus melalui studi ilmiah yang komprehensif dari masyarakat sipil dengan mengutamakan prinsip good governance demi kepentingan bangsa dan negara.
Sri Mulyono, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pemerintahan IPDN Jakarta
Sumber: www.koran-jakarta.com