Pemda kadang melihat opini WTP sebagai bukti bebas dari korupsi. Padahal tidak seperti itu. Ada lebih banyak asimetri informasi yang berkembang di masyarakat maupun Pemda terkait pemeriksaan keuangan yang mengeluarkan opini atas laporan keuangan.
Ada tiga pemeriksaan yang biasa dilakukan BPK berdasarkan undang-undang: pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu, termasuk pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan paling umum diketahui masyarakat adalah pemeriksaan keuangan yang menghasilkan opini, baik itu Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar dengan Pengecualian (WDP), Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau disclaimer, dan seterusnya.
Dekan FE dan Bisnis Universitas Hasanuddin (FEB Unhas) gagaring Pagalung berpendapat persepsi masyarakat maupun pemerintah daerah (pemda) tentang Opini WTP masih beragam. Khusus untuk pemda, gagaring melihat ada kecenderung pemda mengaitkan Opini WTP dengan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) maupun dengan kinerja pemda sendiri. Misalnya, jika satu pemda laporan keuangannya mendapat Opini WTP lima tahun berturut-turut, langsung memasang iklan satu halaman dimana-mana.
Lebih lanjut ia menilai beragamnya persepsi masyarakat ataupun pemda terkait hal tersebut lebih banyak pada asimetri informasi antara fungsi BPK yang menghasilkan opini atas laporan keuangan dengan persepsi pada pemangku kepentingan. Oleh karena itu, sosialisasi merupakan langkah baik bagi BPK untuk mengurangi asimetri informasi tersebut.
Walau masih beragam persepsi, tetapi bukan berarti sosialisasi yang dilakukan BPK kurang. Gagaring melihat kadang tergantung siapa yang menggunakan informasi terkait hasil pemeriksaan BPK. “Mau good news atau bad news nih,” ujarnya.
Gagaring mengatakan, jika ingin good news, pasti hasil pemeriksaan BPK digunakan untuk untuk memenangkan pilkada bagi incumbent, untuk mendapatkan insentif jika mendapat Opini WTP. Tapi, jika ingin bad news, bisa digunakan untuk menyerang satu daerah ternyata banyak penyimpangan dan sebagainya.
General Audit
Gagaring membandingkan pemeriksaan keuangan sebagai general audit. General audit ini dalam bahasa medis diumpamakan sebagai general check up. Memeriksa keseluruhan organ tubuh tetapi tidak mendalam dan spesifik.
“Jadi, kalau kita ini ingin diperiksa, periksa ke dokter umum. Hasilnya nanti keluar anda sehat. Sehat sekali WTP, sehat tetapi ada penyakit yang tidak fatal nah itu WDP. Nah, kalau Tidak Memberikan Pendapat dan seterusnya, artinya ada problem besar di dalam,” tuturnya.
Tapi, kadang-kadang dengan fungsinya ini, orang mengkaitkan sudah aman dari korupsi. Padahal tidak. Jika dalam general check up dinyatakan sehat, bukan berarti sehat seutuhnya. Bisa jadi ada gejala asam urat atau diabetes yang belum terdeteksi dalam general check up.
“Karena bisa jadi sesuai aturan, tetapi ada persekongkolan di dalam yang orang lain tidak ketahui, maka di situ penyimpangan dan korupsinya, tetapi auditor datang dengan melihat transaksi, bukti-bukti pada prinsipnya mungkin oke, sehingga opininya menghasilkan WTP,” jelasnya.
Tapi, kadang juga auditor saat melakukan pemeriksaan, kadang menemukan ada gejala penyimpangan. Di situ, dia bisa mendeteksi awal ada penyimpangan atau indikasi tindak pidana korupsi. “Tapi, lagi-lagi tujuan dari general audit yang menghasilkan opini bukan untuk mengetahui secara persis ada korupsi atau tidak. Sama seperti memeriksa kesehatan ke dokter umum. Nanti, kalau ada problem besar ke dokter spesialis toh. Kadang-kadang kalau kita sudah parah kan ke dokter spesialis,” ucapnya. Baru kalau ada temuan yang berindikasi tindak pidana korupsi baru dilakukan apa yang namanya investigative audit. Audit jenis ini lain lagi tujuannya. Ujung-ujungnya jika memang ada tindak pidana itu urusannya diserahkan kepada aparat penegak hukum. (and)
Sumber: Warta BPK